Minggu, 13 November 2011

When Im Fallin Love, It'll be Forever

Abis nemu crita ini di kaskus, bagus bgt, mpe berurai air mata *iya saya memang cengeng..karena lagi jauhan sama suami, dan kmaren sbelum aa brangkat saya sempet sedih bgt, karna dgn perpisahan sementara ini, berarti kita harus menunda keinginan untuk punya momongan. Alhamdulillah setelah baca ini, saya jadi lebih ikhlas, ini pasti skenario terbaik dari Allah untuk kehidupan kami. Allah ingin cinta kami tidak terbagi untuk anak-anak dulu, apalagi kondisinya kami baru bgt menikah, dan mungkin karena Allah ga tega ngeliat aku hamil sendirian, sementara suamiku jauh dan gbisa nemenin.  Langsung aja, ini ceritanya :




Dulu, saya tidak percaya cinta pada masa pacaran bisa memudar ketika sudah menikah. Saat sudah melewati beberapa tahun pernikahan... barulah saya tahu.... itu adalah suatu realita. Cinta memudar... bukan berarti hilang... hanya bentuknya yang sedikit berubah. Seiring dengan lahirnya anak-anak , cinta secara alami menjadi terbagi bukan ?

Ketika anak pertama kami lahir, laki-laki, wah... selangit rasanya. Kata almarhum bapak saya... saat itu mata saya begitu berbinar... seolah di dunia ini hanya saya yang bisa punya anak. Mulai detik itu juga, ada cinta yang lebih kuat dari cinta yang saya rasakan pada masa pacaran. Hampir 100% waktu saya tercurah untuk si sulung. Suami, secara otomatis langsung menjadi warga kelas dua. Apalagi saya sendiri... langsung tidak sempat untuk mengurus diri sendiri...

Saat itu saya masih bekerja.... Ketika si sulung berumur 1.5 tahun, saya sempat di rumah, dan kembali bekerja saat si sulung berumur 3.5 tahun. Mulai saat itu kami terpisahkan oleh jarak dan waktu. Saya tinggal di Lippo Cikarang karena dekat dengan kantor, sementara suami tinggal di Jakarta supaya dekat dengan kantornya juga. Otomatis, kami hanya bisa bertemu seminggu sekali, dan ini berlangsung selama empat tahun.


Berjarak delapan tahun setelah kelahiran anak pertama.... kemudian kami dikaruniai anak kedua. Perempuan... sesuai dengan yang diimpikan suami. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami dengan sepasang anak yang lucu. Sekali lagi.... suami secara otomatis menjadi warga kelas kesekian.... karena selain mengurusi si sulung, saya juga harus konsentrasi pada si kecil.


Saat si kecil berumur 8 bulan, dan sulit sekali mencari baby sitter yang dapat diandalkan, saya memutuskan untuk keluar dari bekerja, pindah dari lippo cikarang berkumpul kembali dengan suami di Jakarta. Saya sempat bekerja kembali selama 2 bulan dan terpaksa harus berhenti karena si kecil opname. Belum sempat mencari kerja lagi, si sulung dan si bungsu (again) terpaksa diopname karena kena DBD bersamaan. Dua minggu kemudian, dua hari menjelang akhir tahun 2009 rumah kami kena musibah kebakaran kecil, yang menyebabkan suami saya cedera. Dua minggu lamanya sambil menunggu suami pulih, saya harus menjadi sopir pribadi untuk mengantarkan kemana saja ia pergi.


Saat itu saya sadar... bahwa Tuhan punya rencana : saya memang harus ada untuk keluarga dan dengan senang hati menerima keadaan menjadi seorang ibu rumah tangga.


Mulai awal 2010 kondisi suami saya menurun, hasil laboratorium periksa darahnya kurang baik. Kolesterol tinggi, asam urat tinggi, Hb tinggi, ditambah tensi yang tinggi pula. Menurut dokter, bila tidak hati-hati akan berpontensi stroke 5-6 tahun mendatang. Wah... saya benar benar stress berat. Ditambah lagi, suami saya juga jadi drop rasa percaya dirinya. Dia punya kekhawatiran yang sangat besar terhadap keadaan kami bila sesuatu yang buruk menimpa dirinya.


Itulah yang membuat saya berfikir untuk menyingkirkan beban hati dan berjuang membangkitkan semangat suami. Pola makannya saya jaga. Kami juga rajin melihat di internet topik mengenai pengobatan tradisional yang baik, untuk mengembalikan keadaan menjadi mendekati normal. Jus buah buahan dan herbal alami benar benar kami utamakan.


Setelah lima bulan berlalu... dan keadaan membaik, saya sedikit lega. Sampai dengan suatu malam, suami mengeluh wajah dan kaki nya sering kram. Hati saya kembali was was....


Malam itu..... seolah film perjalanan pernikahan kami tayang di depan mata. Betapa saya menyesalkan tahun-tahun yang telah lewat... Betapa saya merasa sangat terpukul. Betapa selama ini saya begitu menganggap pentingnya persetaraan gender sehingga mengabaikan peran saya sebagai istri. Saat hidup mandiri di Lippo Cikarang.... betapa saya menuntut suami untuk bisa mengurusi dirinya sendiri di Jakarta. Saat itu saya menyadari.. bahwa suami tetap membutuhkan sentuhan tangan isteri dalam menjalani hidupnya.

Memang benar kata pepatah, bahwa kita tahu berharganya seseorang... saat kita merasa takut kehilangan. Malam itu saya sadar... bahwa cinta yang bertahun tahun pudar karena berubah bentuknya bisa kembali menyala, karena kami adalah belahan jiwa satu sama lain.

Mulai saat itu, setiap menjelang tidur, satu kalimat sederhana saya bisikkan di telinganya : sehat ya pa... temani aku sampai tua... I love you....

0 komentar: